Kearifan lokal tentang
tradisi perladangan masyarakat baduy
Perladangan merupakan aktivitas
bercocok tanam
atau pertanian bersifat tradisional. Perladangan biasanya
dilakukan
secara berpindah-pindah, atau sering pula disebut dengan istilah asingnya shifting,
swidden, slash and burn, atau shifting cultivation.
Kegiatan perladangan ini dikenal
hampir di seluruh
belahan dunia terutama yang beriklim
tropis.
Salah satu kelompok masyarakat perladangan di Indonesia yang masih memegang teguh
adat tradisi perladangan itu adalah masyarakat
Baduy.
Tradisi
perladangan pada masyarakat Baduy secara tradisional masih tetap berlangsung hingga detik ini.
Ladang menurut
masyarakat
Baduy
disebut huma.
Bekas huma yang masih baru ditinggalkan
disebut jami, sedangkan
bekas huma yang sudah lama ditelantarkan
hingga menjadi semak disebut reuma . Perladangan Baduy utamanya adalah
menanam padi. Selain sebagai makanan pokok,
padi juga merupakan tanaman yang dianggap mulia.
Masyarakat Sunda
baik
di wilayah Jawa Barat
maupun Banten sangat menghormati
padi karena diyakini
sebagai penjelmaan Nyi
Sri atau Nyi Pohaci Sanghyang
Asri atau Dewi Padi. Penghormatan kepada padi terlihat
sepanjang proses perladangan, panen, hingga pascapanen.Konsep dan
penghormatan tentang
Nyi Sri atau Nyi Pohaci tersebut terdapat pula dalam
karya naskah kuno Sunda, misalnya Wawacan Sulanjana. Dalam naskah itu dikatakan bahwa tanaman padi diyakini
berasal dari Dewi yang dimuliakan oleh tokoh-tokoh mulia
lainnya, antara
lain Batara Guru, Prabu Siliwangi,
dan
Semar. Tradisi penghormatan kepada padi tersebut merupakan
kearifan lokal yang
tetap harus dipelihara dan dijaga sebagai
upaya mempertahankannya sebagai makanan
pokok
.
Menurut tradisi masyarakat Baduy dikenal lima macam
huma, yakni: huma serang, ladang adat
kepunyaan bersama yang hanya terdapat di Baduy Tangtu (awam menyebutnya
Baduy Dalam),
keperluan penduduk Baduy Tangtu, huma tuladan, ladang untuk keperluan upacara (seperti huma serang)
di
Baduy Panamping (Baduy Luar), dan huma
panamping,
ladang untuk keperluan penduduk Baduy Panamping.
Huma serang dibuka dan ditanam terlebih dahulu, kemudian diikuti
dengan huma puun, huma tangtu,
lalu huma tuladan
dan huma
panamping.
Jenis-jenis huma tersebut merupakan strategi ketahanan pangan
masyarakat Baduy. Dalam adat Baduy,
padi
yang dihasilkan terutama untuk keperluan upacara adat
dan keperluan sehari-hari, serta tidak boleh diperjualbelikan.
Hasil padi dari huma serang untuk keperluan upacara
adat Baduy Tangtu dan
keseluruhan Baduy, sedangkan padi dari huma
panamping untuk upacara
adat
di
wilayah panamping. Jika terjadi
gagal panen di huma serang, maka padi
upacara diambil dari
huma
panamping. Jika keduanya gagal panen, maka padi diambil
dari huma tangtu dan huma panamping.
Strategi itu merupakan antisipasi kegagalan panen misalnya
akibat cuaca yang tidak menentu dan
serangan hama.
Dengan membuka ladang
yang tidak bersamaan dan
pada tempat yang berbeda, maka kegagalan
panen dapat dihindari.
Menurut pengetahuan yang turun-temurun dari sejumlah informan dan narasumber diketahui bahwa pemilihan
lahan huma didasarkan atas jenis
tanah, kandungan
humus, dan kemiringan lereng. Dari segi jenis tanahnya dapat dilihat berdasarkan warna, kandungan air
dan udara, serta kandungan
batu. Berdasarkan warnanya
dikenal taneuh hideung (tanah
hitam), taneuh bodas (tanah putih), dan
taneuh beureum (tanah merah). Tanah
hitam merupakan prioritas karena tanah tersebut
banyak
mengandung surubuk
(humus). Berdasarkan kandungan air dan udaranya dikenal taneuh liket (tanah lengket) dan taneuh bear
(tanah gembur). Untuk memperoleh
lahan huma yang
baik,
maka sebaiknya
dipilih taneuh bear karena
pada
tanah ini selain terdapat air,
juga longgar dan
terdapat banyak udara sehingga akar tanaman bisa bebas bergerak dan bernapas. Sementara itu, berdasarkan kandungan batunya, lahan yang baik adalah taneuh teu aya batuna (tanah yang tidak ada
batunya)
dan jangan
memilih
taneuh
karang (tanah yang banyak terdapat batu). Dari
segi kandungan humusnya dapat
dilihat dari banyak tidaknya surubuk
dan koleang. Surubuk merupakan istilah Baduy untuk menyebut humus sebagai kandungan
dalam tanah yang dapat
menyuburkan
tanaman, sedangkan
koleang berupa daun-daun kering yang jatuh atau terdapat
pada permukaan tanah. Kedua unsur ini sangat penting
bagi masyarakat Baduy sebagai pupuk organik.
Berbeda
dengan jenis
tanah dan kandungan
humus, segi kemiringan
lereng lebih berkaitan
langsung dengan mitigasi bencana. Menurut
para informan, dari segi kemiringan lereng orang Baduy membedakannya menjadi lahan gedeng (lahan yang miring atau curam)
dan lahan cepak (lahan di tempat
datar). Pilihan terbaik untuk lahan ladang adalah lahan
cepak. Secara
praktis
lahan tersebut lebih mudah dalam
pembukaan dan pengelolaan lahan. Tetapi dalam
kenyataan di lapangan
didapati bahwa bentukan
permukaan lahan
di wilayah Baduy jarang
sekali ditemukan
tanah
yang datar sehingga banyak ladang ditemukan pada lahan gedeng.
Tradisi Baduy juga mengajarkan bahwa dalam
perladangan dilarang (buyut) menggunakan peralatan pacul apalagi bajak. Alat-alat tersebut dapat menyebabkan
tanah menjadi terbolak-balik dan
permukaan tanah berubah. Terbolak-balik dan
berubahnya permukaan tanah
diyakini akan berdampak pada ketidakstabilan permukaan tanah dan
dapat mengakibatkan tanah longsor. Oleh karena
itu,
dalam tradisi menanam
benih padi di ladang hanya
menggunakan tongkat kayu (tugal) yang disebut aseuk. Kegiatan menugal atau membuat lubang-lubang kecil untuk
memasukkan benih padi
tersebut disebut ngaseuk.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar